Bagi muslim dan mungkin bagi umat lainnya, tentu sudah
mengenal konsep yang sungguh indah.
"Jika mendapat kenikmatan ia bersyukur"
"Jika sedang tertimpa musibah ia
bersabar."
Kalau
diantara kita ada yang sedang bahagia hari ini, bersyukurlah, Jangan biarkan
kenikmatan itu dirasakan sendiri, berbagilah kenikmatan yang dirasakan bersama
orang lain. Keluarga, sahabat, kaum du’afa, atau orang- orang tercinta.
Kemudian,
bagi yang saat ini sedang merasa sedih, jengkel, kecewa atau sedang mengalami
cobaat yang besar. Bersabarlah ... lalu dengan kesabaran itu ..pelan-pelan
mencari jalan keluarnya dan tentunya dengan selalu berpegang pada-NYA .
Secara
global kehidupan semua manusia adalah sama, mereka hanya akan melewati dua sisi
hidup yang Allah Ta’ala pasangkan; bahagia dan bencana, mudah dan sulit, suka
dan duka. Kita pun sudah, sedang, dan akan terus merasakan keduanya silih
berganti. Kehidupan ini bagaikan roda yang berputar, kadang posisi kita di atas
dan kadang di bawah, semua akan mendapatkan gilirannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan
diantara manusia ..” (QS. Ali Imran (3): 140)
Demikianlah hidup kita. Namun,
tidak sedikit manusia yang tidak terima kenyataan ini. Keinginan mereka adalah
semua hari adalah bahagia, semua cuaca adalah cerah, semua tanah adalah subur,
semua air adalah jernih. Tidak demikian. Manusia semacam ini akan terombang
ambing oleh impian dan dipenjara oleh fatamorgana yang hanya dapat berubah jika
mereka mau menerima kenyataan hidup dan siap mengarunginya.
Ada pun bagi seorang beriman,
mereka akan menyikapi dua sisi hidup ini secara ikhlas dan penuh ridha. Mereka
meyakini, baik atau buruk dari apa yang dialami manusia, pastilah memiliki
pelajaran berharga dan rahasia manis yang dapat diketahui cepat atau lambat.
Tidak ada yang sia-sia.
Allah Ta’ala menceritakan perkataan orang-orang yang mendalam ilmunya (Ulil
Albab):
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا
“Tuhan kami, tidaklah apa yang Engkau ciptakan ini sia-sia.”
(QS. Ali Imran (3): 190)
Ya, semua keadaan pasti membawa
manfaat untuk kita, sebab Allah Ta’ala tidaklah mengadakannya untuk main-main
dan kesia-siaan. Oleh karena itu, sikap terbaik terhadap bencana adalah
bersabar, sikap terbaik terhadap kebahagaiaan adalah bersyukur. Inilah cara
yang ditempuh orang beriman, sikap yang diambil para shalihin (orang-orang
shalih), dan jawaban yang diberikan para fuqaha (orang-orang yang faham agama).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga telah menggambarkan:
عَجَباً
لأمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لأِحَدٍ إِلاَّ
للْمُؤْمِن: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ
ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خيْراً لَهُ
“Sungguh mengagumkan melihat urusan orang mukmin, baginya,
semua masalah adalah baik. Dan, sikap yang demikian tidaklah terjadi kecuali
oleh orang beriman. Jika dia mendapatkan kebahagiaan dia bersyukur dan itu
adalah hal yang baik baginya, dan jika dia mendapatkan keburukan dia bersabar,
dan itu adalah hal baik baginya.” (HR. Muslim No. 2999, Ibnu Hibban No. 2896)
BerSYUKUR Itu Manis
Manusia yang di dadanya dipenuhi
rasa syukur adalah manusia kaya sebenarnya. Hatinya lapang dan jiwanya bersih
dari angan-angan kosong dan impian yang melemahkan gairah hidup. Tidak ada
waktu baginya memikirkan apa-apa yang dimiliki orang lain, tetapi dia sibuk
dengan berbagai nikmat yang Allah Ta’ala yang tak terhingga yang dia dapatkan
dariNya. Sehingga lahirlah jiwa yang kaya, dan jiwa yang kaya itulah kaya yang
hakiki.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ليس
الغنى عن كثرة العرض، ولكنَّ الغنى غنى النفس
“Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, tetapi
kekayaan sebenarnya adalah yang kaya jiwanya.” (HR. Bukhari No. 6081, Muslim
No. 1051, At Tirmidzi No. 2373, Ibnu Majah No. 1386, Ibnu Hibban No. 679, Ahmad
No. 7316, Abu Ya’la No. 3079, 6583, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya No.320)
Jiwa yang kaya itulah raja
sebenarnya, seorang raja tidak lagi membutuhkan apa-apa yang ada pada orang
lain, begitu pula hamba Allah Ta’ala yang pandai bersyukur, dia merasa cukup
dan puas, sehingga mata dan wajahnya tidak pernah menoleh kepada apa yang bukan
hak dan miliknya.
Seorang penyair berkata:
اذا كنت ذا قلب قنوع فأنت و مالك الدنيا سواء
Jika engkau memiliki hati yang puas (qanuu’), maka engkau
dan rajanya dunia adalah sama saja!”
Seorang hamba bersyukur bukan
hanya di bibir dengan ucapan Alhamdulillah, tetapi dia tampakkan dalam sikap
hidup; yaitu menjaga dan memanfaatkan sebaik-baiknya nikmat yang Allah Ta’ala
berikan kepadanya dengan cara dan tujuan yang baik pula, tidak iri dan dengki
terhadap anugerah yang Allah Ta’ala titipkan kepada orang lain, serta adanya
perbaikan dalam kualitas hubungan dengan Allah Ta’ala (ibadah) dan hubungan
dengan manusia (sosial).
Percayalah, sikap syukur tidak
akan memberikan apa-apa bagi pelakunya kecuali hanya kebaikan dan kebaikan. Dia
akan dicintai manusia, sebab kehadirannya bukan ancaman bagi orang lain. Dia
akan dicintai Allah Ta’ala, sebab dia tidak kufur atas nikmatNya, bahkan Allah
Ta’ala akan menambah nikmat untuk hamba-hambaNya yang bersyukur.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ
شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih." (QS. Ibrahim (14): 7)
Seorang ulama berkomentar tentang ayat ini:
وإذ أقسم ربكم وآلى بعزته وجلاله
وكبريائه كما قال: { وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكَ لَيَبْعَثَنَّ عَلَيْهِمْ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ [مَنْ يَسُومُهُمْ سُوءَ الْعَذَابِ ] } [الأعراف: 167].
وقوله { لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ } أي: لئن شكرتم نعمتي عليكم لأزيدنكم
منها، { وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ } أي: كفرتم النعم وسترتموها وجحدتموها، { إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٌ } وذلك بسلبها عنهم، وعقابه إياهم على كفرها
Ingatkah ketika Tuhanmu
bersumpah dengan keagunganNya, kekuasaanNya, dan kemahabesaranNya, sebagaimana
firmanNya ( dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa Sesungguhnya
Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat
orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya) dan
firmanNya (Jika kalian bersyukur niscaya akan Aku tambahkan), yaitu jika kalian
benar-benar mensyukuri nikmatku atas kalian, maka Aku akan benar-benar tambahkan
nikmat itu untuk kalian, (dan jika kalian kufur terhadap nikmat) yaitu jika
kalian kufur terhadap nikmat itu dengan menutup-nutupinya dan mengingkariny
(maka azabKu begitu keras) maka nikmat itu akan diambilNya kembali dan Dia akan
memberikan hukuman. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/479. Dar
Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Beginilah Cara Mereka Bersyukur
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menceritakan tentang ibadahnya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم كَان يقُومُ
مِنَ اللَّيْلِ حتَّى تتَفطَرَ قَدمَاهُ، فَقُلْتُ لَهُ، لِمْ تصنعُ هذا يا رسولَ
اللَّهِ، وقدْ غفَرَ اللَّه لَكَ مَا تقدَّمَ مِنْ ذَنبِكَ وما تأخَّرَ؟ قال:
"أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أكُونَ عبْداً شكُوراً؟
Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri pada shalat malam (tahajud)
sampai bengkak kedua kakinya, lalu aku berkata kepadanya: “Kenapa kau lakukan
ini wahai Rasulullah? Padahal Allah telah mengampunimu baik dosa yang lalu dan
yang akan datang?” Beliau menjawab: “Tidakkah aku suka jika aku menjadi hamba
yang bersyukur?” (HR. Bukhari No. 1078, Muslim No. 2819, Ibnu Majah No. 1419,
At Tirmidzi No. 412, An Nasa’i No. 1644, Ibnu Khuzaimah No. 1182, 1184)
Lihat! Walaupun Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah diampuni semua dosa yang lalu dan akan
datang, dia tetap beribadah, bahkan lebih kuat lagi. Tidak justru
‘mentang-mentang’ sudah diampuni lalu menghabiskan waktu dengan senang-senang
semata.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
menceritakan tentang seorang ulama nan shalih, Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh.
Suatu malam Beliau sedang shalat tahajud, ternyata tanpa sepengetahuannya
anaknya yang laki-laki mengikutinya jadi makmum, sampai dia membaca satu ayat
yang memilukan hati anak itu, lalu anak itu terjatuh dan wafat.
Keesokan harinya ramai manusia
bertakziah ke rumahnya, sebagai rasa ikut berduka. Tetapi, Imam Al Fudhail bin
‘Iyadh justru mengeluarkan perkataan yang mengherankan bagi manusia saat itu.
Dia tidak bersedih, tak ad air mata, justru senyumanlah yang ada darinya.
“Jangan kalian kira aku sedang bersedih,
justru aku bergembira dengan wafatnya anakku ini, karena dia wafat dalam
keadaan husnul khatimah.”
Ya, beliau bukan sedang
berduka cita dan bersabar, tetapi sedang bergembira dan bersyukur karena
anaknya wafat dalam keadaan yang sangat bagus yakni ketika shalat tahajud.
Sungguh jika bukan karena tawakal yang mendalam, sikap seperti Imam Al Fudhail
bin ‘Iyadh adalah sikap yang amat sulit dilakukan manusia zaman sekarang.
SABAR
Itu Indah
Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah
pernah mengatakan bahwa di surga hanya ada dua kelompok manusia; manusia yang
bersyukur dan manusia yang bersabar.
Orang-orang sukses, dunia dan
akhirat, salah satu kuncinya oleh kesabaran. Lihatlah betapa sabarnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya dalam mendakwahkan
Islam di Jazirah Arab. Walau tantangan, ancaman, pengusiran, bahkan percobaan
pembunuhan sudah berkali-kali dirasakannya ketika tiga belas tahun dakwah di
Mekkah, akhirnya Allah Ta’ala menangkan dakwah Islam karena buah kesabaran
Beliau dan para sahabatnya.
Sabar memang berat. Oleh karena
itu, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah memasukkan sabar dalam menuntut ilmu, sabar
dalam menghafalkan ilmu, dan sabar dalam menyampaikan ilmu adalah termasuk
jihad fisabilillah. Maka, dari sini kita bisa mengetahui bahwa sabar bukanlah
kelemahan, justru sabar adalah kekuatan, sabar bukan kelesuan tetapi dia adalah
gairah hidup, sabar bukan kecengengan tetapi dia adalah ketegaran, sabar
bukanlah pesimis tetapi dia adalah optimis, dan sabar bukanlah diam membisu
tetapi dia adalah pantang menyerah. Dan,
orang sabar bukan sekedar yang tidak menangis ketika mendapatkan musibah, bukan
pula sekedar tidak mengeluh ketika tertimpa kesulitan, sebab itu barulah
tahapan awal kesabaran.
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ
مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
`Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar
dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana
yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah
(kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran (3): 146)
Dibalik Sabar Ada Kemenangan
Ini adalah janji Allah Ta’ala
kepada hamba-hambaNya yang bersabar. Dan, janjiNya adalah benar. Namun jangan
lupa, sabar juga bukan kekuatan tanpa perhitungan, sabar bukan ketegaran tanpa
tujuan, sabar bukan pesimis tanpa arahan, sabar bukanlah gerak pantang menyerah
namun tanpa pemikiran yang matang. Tidak demikian. Tetapi sabar adalah
berpadunya kekuatan dan perhitungan, ketegaran dan tujuan, optimis dan arahan,
gerak pantang menyerah dan pemikiran matang, maka tunggulah kemenangan yang
Allah Ta’ala janjikan.
Perhatikan firman Allah Ta’ala berikut:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ
الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ
يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ (65) الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ
وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ
يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ
بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66) }
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para
mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya
mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang
yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada
orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu
ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya
mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada
seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu
orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al
Anfal (8): 65-66)
Maka, Maha Benar Allah ketika berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ
وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu'. (QS. Al Baqarah (2): 45)
Ya, orang sabar akan menjadi
pemenang, bagaimana mungkin mereka kalah padahal Allah Ta’ala bersama mereka? Innallaha ma’ash shaabiriin
(sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar) …..
Beginilah Kesabaran Mereka
Nabi Nuh ‘Alaihissalam
menyebarkan dakwah tauhid dalam waktu 950 tahun, walau dia tahu pengikutnya
tidak akan banyak, namun dia tetap berjuang tanpa putus asa.
“Dan telah diwahyukan kepada Nuh bahwasanya tidak akan ada yang beriman di
antara kaumnya kecuali orang-orang yang telah beriman ( dari sebelumnya ) maka
janganlah kamu putus asa karena apa yang mereka lakukan.” ( QS. Huud : 36 )
Dari ayat ini kita bisa tahu bahwa Nabi Nuh ‘Alaihissalam tidak akan banyak
pengikut, tetapi dia terus mendakwahkan agama tauhid tanpa putus asa selama 950
tahun.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, kemudian dia tinggal
di antara mereka selama 950 tahun …” ( QS. Al ’Ankabut : 14 )
Imam Ahmad
bin Hambal Rahimahullah mengalami penyiksaan yang amat memilukan selama tiga
periode kepempimpinan khalifah yang berbeda yakni khalifah Al Makmun, Al
Mu’tashim, dan Al Watsiq, demi mempertahankan aqidah yang benar bahwa Al Quran
adalah kalamullah (firman Allah), dan Al Quran bukan makhluk Allah sebagaimana
keyakinan kelompok menyimpang Mu’tazilah. Namun, akhirnya pada Al Watsiq beliau
dibebaskan, bahkan khalifah ini mengakui kebenaran keyakinan Imam Ahmad bin
Hambal dan mendukung dakwahnya.
Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
Rahimahullah menyusun kitab Fathul Bari selama 25 tahun. Kitab yang memberikan
penjelasan terhadap hadits-hadits yang terdapat kitab Shahih Bukhari. Dan, kita
ini dinilai sebagai kitab terbaik dan terlengkap dalam bidangnya, khususnya
dalam memberikan penjelasan (syarah) terhadap Shahih Bukhari.
Masih banyak contoh-contoh kesabaran orang-orang besar dan sukses selain
mereka.
Lalu, di manakah posisi kita di antara mereka?
Wallahu A’lam Bishawab